Sosial mediaku tak lagi menyenangkan

Belakangan ini, aku si apatis terhadap isu di lingkungan sosial, mulai gerah terhadap fenomena hate speech yang marak sekali terjadi.

Persatuan dan kesatuan dalam perbedaan yang kita—masyarakat Indonesia—agung-agungkan dan kita junjung tinggi selama ini mulai berada di ujung tanduk. Entah siapa yang memulai, tapi ketika kuperhatikan sekelilingku lebih dalam lagi, ternyata banyak sekali para provokator yang mulai bermunculan.

Sebagai anak muda, aku termasuk salah satu pengguna sosial media yang aktif.  Instagram, twitter, ataupun facebook, tentu saja aku punya semua akunnya. Tujuanku bermain sosial media hanya untuk bersenang-senang, berbagi momen, pikiran, mencari kawan baru dan sebagainya. Tak pernah kupikirkan bahwa sosial media berubah menjadi lahan bagi para penuai kebencian.

Aku sangat resah ketika suatu hari aku masuk ke akun facebook-ku yang sudah jarang sekali ku kunjungi. Kulihat halaman berandaku tak seperti dulu lagi. Banyak sekali teman-teman di facebook ku yang dengan santainya menyebarkan berita bohong (sekarang lebih tren disebut hoax) yang kemudian disebarkan lagi oleh temannya kemudian disebarkan lagi oleh teman-temannya begitu seterusnya sampai akhirnya timbul adu argumen dan debat yang sebenarnya sangat tidak perlu terjadi.

Kalau sudah seperti ini, aku hanya bisa menekan tombol pembatalan pertemanan pada akun mereka yang sering menyebarkan isu hoax di berandaku.

Suatu hari pun aku tanpa sengaja menemukan sebuah situs berita yang lumayan ramai dikunjungi. Ketika aku selesai membaca berita disana yang isinya pun kupikir tidak menyudutkan satu agama, suku, ras apapun. Tetapi ketika kubaca kolom komentarnya, hatiku sungguh miris sampai harus menghembuskan nafas yang panjang. Bagaimana bisa orang-orang dengan mudahnya menyudutkan suatu agama dan para ummatnya dengan begitu kejam di suatu forum yang dapat dengan mudah dibaca orang lain?. Satu orang menjelekkan dan beberapa orang ikut-ikut menjelekkan kemudian beberapa orang melawan begitu seterusnya sampai terjadi apa yang disebut dengan cyber war.

Semakin banyak orang-orang yang makin berani dan vokal menyuarakan kebencian terhadap suatu golongan agama, ras, dan suku. Kaum-kaum tersebut yang sebenarnya intoleran tetapi menyebut orang lain yang intoleran.

Apalagi didukung oleh kemajuan teknologi yang makin maju sehingga makin cepat seseorang mengakses dan menyebarkan informasi yang kebenarannya belum tentu pasti. Sayangnya, kemajuan teknologi tidak dibarengi dengan kebijaksanaan para penggunanya. Malahan, membuat banyak orang ‘keblinger’ dan akhirnya menjadikan orang-orang berjari cepat. Siapakah si jari cepat ini? Merekalah manusia yang jarinya lebih cepat menyebarkan atau mengetik sesuatu hal daripada menggunakan otaknya dulu untuk berpikir dampak negatif yang akan ditimbulkan. Mereka yang mudah tertipu oleh judul artikel provokatif. Mereka yang dengan santainya menulis hal buruk tentang sesuatu atau seseorang yang bahkan belum pernah mereka temui di dunia nyata. Mereka yang dengan mudahnya mengujarkan kebencian. Ini bahaya, tentu saja.

Aku tak mengerti apa motivasi yang melatar belakangi mereka sehingga menjadi penyebar ujaran kebencian. Haus akan eksistensi di dunia nyatakah? Atau hanya karena merasa diri paling benar, lalu memandang rendah orang lain yang tidak satu lahan pemikiran.

Hei, kalian manusia si jari cepat! Tidak malukah kalian bersembunyi dibalik layar? Begitu senangkah kalian menyebabkan perpecahan dan menyebarkan kebencian?. Jika di dunia nyata kalian melihat seseorang yang tidak kalian kenal, makan di depan kalian padahal saat itu sedang bulan ramadan, dan kalian sedang berpuasa, aku yakin kalian hanya bisa diam dan tak akan berani menegur langsung orang yang sedang makan tersebut.

Aku teringat dengan salah satu perkataan temanku, dia berkata:

“orang yang ilmunya sudah tinggi, biasanya lebih adem dalam menghadapi perbedaan pada suatu hal.”

Dan akupun mengamini ucapannya.

Karena Allah sudah menciptakan manusia lengkap dengan otak untuk berpikir, mata untuk melihat, dan hati untuk merasa. Jika otakmu tak bisa lagi kau gunakan dan matamu sudah terlalu tertutup, setidaknya hatimu bisa dibuat lebih lembut lagi dalam menanggapi sesuatu.

Wajar, jika ada yang berbeda pendapat. Ambil contoh mudah, menurutku ayam goreng di restoran K lebih enak di restoran M. Contoh yang seperti itu saja jika dibuat perdebatan  mungkin akan berujung panjang. Padahal seharusnya tidak perlu, kan? Sama halnya dengan prinsip, keyakinan, pendapat, dan opini masing-masing orang. Tak perlu saling mencemooh.

Aku tahu itu hanyalah dunia maya. Wadah berekspresi. Wadah kebebasan. Tapi bukankah berekspresi dan kebebasan itu ada batasnya? Sama seperti dunia nyata, dunia maya pun memiliki aturan. Jari-jarimu nanti di minta pertanggung jawaban.

Lalu kemanakah perginya sosial media yang menyenangkan itu? Yang dulu kutahu hanya berisi update status-status galau khas anak muda, sapaan-sapaan dari teman-teman baru, ucapan ulang tahun, ataupun unggahan foto-foto liburan ataupun foto-foto alay yang dapat diberi komentar dan tanda suka. Terlihat ‘receh’ memang, tetapi bukankah itu fungsi utama dari sosial media?.

Komentar

Postingan Populer