YANG NANYA KAPAN SAYA KAWIN, NIH BACA!

Malam-malam memang waktu yang pas untuk ide dan mood datang untuk menulis. Tulisan berikut ini juga lahir dari hasil pemikiran di tengah-tengah begadang saya.

Kali ini saya ingin menyampaikan keresahan saya terhadap 'perhatian' orang-orang di sekitar saya (re: tetangga, saudara, teman-teman) yang menurut saya telah melewati batas.

Contohnya, kalau orang-orang di sekitar sudah mulai 'perhatian' dengan melontarkan pertanyaan menjengkelkan seperti “kapan kawin?.”

Dua kata itu memang ajaib sekali. Ajaib membuat orang yang mendapatkan pertanyaan itu menjadi jengkel, kesal, bimbang, galau, dan gundah gulana. Apalagi buat kalian yang umurnya sudah menginjak usia diatas 20 tahun. Termasuk saya.

Tahun ini usia saya baru saja ingin memasuki 23++, tetapi pertanyaan “sakral” itu sudah bertubi-tubi menimpa saya sejak usia saya baru ingin memasuki 20 tahun. Apalagi di lingkungan saya kebanyakan teman-teman saya yang—maaf—tidak memiliki kesempatan belajar ke jenjang lebih tinggi seperti saya, dan kebanyakan  berakhir dengan pernikahan muda dan bahkan sekarang telah banyak yang menggendong anak.

Awalnya, saya santai saja mendengarnya, pertanyaan saya itu selalu saya jawab dengan, “tenang. Saya masih terlalu muda. Masih mau belajar. Sekolah yang tinggi, mendapatkan pekerjaan yang baik. Insya allah jodoh saya juga yang sama seperti saya, tidak lari kemana dan akan datang disaat yang tepat. Lagipula, orang tua saya belum mengizinkan. Kalau sudah waktunya saya menikah, saya pasti mengundang kamu.”.

Selalu itu yang saya ucapkan dalam usaha pembelaan diri saya. Tetapi tetap saja orang-orang “terlalu perhatian” itu tidak mau kalah melontarkan pertanyaan lain seperti. “Ah, kamu itu wanita. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi? Nanti juga ujung-ujungnya mengurus dapur, anak dan suami bukan? Lagipula syarat menikah tidak harus bekerja terlebih dahulu?.”

Untuk menjawab jenis pertanyaan diatas, kadang kala saya hanya membalasnya dengan sebuah senyuman manis yang dibuat-buat sambil berlalu pergi. Sebenarnya saya bisa saja membalas pertanyaan itu dengan jawaban yang mungkin akan terdengar menyakitkan di telinga dan hati tapi untuk apa saya lakukan itu kepada orang-orang yang tak mau mengerti. Maka dari itu sambil menahan emosi lebih baik saya berpura-pura tidak mendengarkan pertanyaan si penanya.

Memang,untuk menikah tidak butuh persyaratan bekerja terlebih dahulu. Karna Allah pun menjamin bahwa pernikahan bukan alasan tertutupnya pintu rejeki tetapi sebaliknya. Saya rasa orang-orang terlalu menelan bulat-bulat apa yang dimaksudkan oleh Allah tanpa mencoba mendalaminya lebih lanjut. Lagipula, apakah tidak terlalu naif jika menikah tidak butuh uang? Jika kita tidak bekerja bagaimana menyerahkan mahar? Membiayai biaya perkawinan yang meskipun tidak ada resepsi besar-besaran tetapi tetap saja membutuhkan biaya, bukan? Lantas, bagaimana? Meminjam atau meminta kepada orang tua? Bukankah orang yang hendak menikah tidak bisa disebut sebagai anak kecil lagi yang bisanya hanya meminta-minta? Bukankah orang yang hendak menikah sudah termasuk orang yang telah dewasa karna telah berani melangkahkan kaki ke jenjang pernikahan?.

Lagipula memangnya ada calon mertua di jaman sekarang yang mau menerima calon menantunya seorang pengangguran?.

Lalu apakah salah bila seorang perempuan ingin mengenyam pendidikan lebih tinggi lagi sebelum akhirnya dia menikah? Padahal semua ilmu yang telah ia raih akan berbalik sendiri kepada dirinya dan keluarganya kelak. Coba pikirkan, perempuan akan menjadi seorang ibu nantinya. Tugas seorang ibu bukan cuma melahirkan dan memberi makan saja tapi juga mendidik anak-anaknya. Bayangkan jika seorang ibu itu adalah seorang perempuan yang pintar, cerdas, berwawasan, mandiri,  memiliki etika dan pengetahuan agama yang baik pula dalam mendidik anak-anaknya nanti? Bisa dipastikan bahwa ia akan melahirkan anak-anak yang cerdas dan berkualitas pula, bukan?.

Lalu ada lagi pertanyaan ajaib lainnya yang membuat saya memutar-mutar bola mata saya,  "kalau nanti nikahnya ketuaan, nanti susah punya anak."

Duh. Skeptis sekali dengan rencana Allah. Tadi saya disuruh nikah muda untuk menghindari zinah yang mana Allah perintahkan. Nah kok sekarang malah lupa kalau Allah yang kasih rejeki juga?.

Saya tahu dan paham bahwa menikah  adalah jalan Allah melindungi hambanya dari perbuatan zinah. Saya tau itu. Kalau saya, karena saya belum mau menikah yasudah tak usah pacaran toh? Itu lebih mudah. Seolah-olah esensi dari menikah muda hanya sekedar untuk pelepasan nafsu semata. “Daripada pacaran mendingan nikah saja, biar nanti kamu halal ngapa-ngapain” begitu kata para aktivis penggiat gerakan nikah muda yang keblinger. Padahal makna dari sebuah pernikahan lebih dari sekedar itu.

Kalau saya ditanya, berarti anda tidak mau menikah muda? Saya akan menjawab, saya bukannya tidak mau tapi akan lebih baik saya menikah di saat yang tepat, disaat ilmu saya sudah cukup, finansial saya stabil (penghasilan tetap), dan emosi saya sudah matang, karena bagi saya pernikahan itu hanya satu kali seumur hidup, dan saya tidak mau menghancurkannya hanya karena kadar emosi saya yang masih meledak-ledak.

Perlu diketahui bahwa saya tidak menghakimi siapapun yang memutuskan untuk menikah muda dan meninggalkan bangku pendidikan ataupun karirnya. Silakan saja, itu adalah hak tiap individu. Pilihan hidup masing-masing. Setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda. Saya pun tak pernah usil terhadap pilihan seseorang. Lantas mengapa kalian harus usil terhadap pilihan hidup saya?


Komentar

Postingan Populer